DIMENSI NON YURIDIS RASA KEADILAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN
Oleh: Dr. Drs. H. Moh. Faishol Hasanuddin, S.H., M.H.
Hakim Tinggi pada PTA Samarinda
Pengantar
Salah satu tugas hakim adalah wajib mempertimbangkan aspek-aspek non hukum yang disebut rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dalam menjatuhkan vonisnya. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengamanatkan: "Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat."[1]
Sementara itu, harus diakui, keadilan itu banyak dimensinya. Keadilan bisa masuk dalam ranah filsafat, politik, teologi, hukum, etika, dan sosiologis. Lantas, apakah sebenarnya rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat itu. Masuk dalam kategori apa rasa keadilan masyarakat itu. Kemudian, apakah makna keadilan itu, apakah adil itu. Tampaknya hal-hal sperti ini perlu difikirkan kembali sebagai bagian dari tugas para Honourable Judge.
Makna keadilan
Keadilan adalah yadla’u al-umūra mawdli’ahā[2] (menempatkan urusan-urusan pada tempatnya), demikian kata Imam Ali bin Abi Thalib. Sebuah proses dari suatu sistem yang serba rumit dan esensial yang melibatkan banyak aspek agar sesuatu itu menempati proporsi yang seharusnya, semestinya, dalam ukuran dan validitas yang tepat.
Dalam Kitab Nahj al-Balāghah Syarh Muhammad Abduh juz 4 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), h. 102. Teks lengkapnya sebagai berikut:
ﺳﺌﻝ ﻋﻟﻳﻪ ﺍﻟﺳﻼﻢ ﺍﻳﻤﺍ ﺍﻓﺿﻝ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﺍﻮ ﺍﻟﺠﻮﺪ ﻓﻗﺍﻝ ﻋﻟﻳﻪ ﺍﻟﺴﻼﻢ ﺍﻟﻌﺪﻞ ﻳﺿﻊ ﺍﻷﻤﻮﺭﻤﻭﻀﻌﻬﺎ ﻭﺍﻟﺠﻭﺪ ﻳﺨﺮﺟﻬﺎ ﻤﻦﺠﻬﺘﻬﺎ ﻭﺍﻟﻌﺩﻝ ﺳﺎﺋﺲ ﻋﺎﻢ ﻭﺍﻟﺠﻭﺩ ﻋﺎﺮﺽ ﺨﺎﺺ ﻔﺎﻟﻌﺪﻝ ﺍﺷﺮﻓﻬﺎ ﻮﺍﻔﺿﻟﻬﺎ
Artinya: Imam Ali ditanya, mana yang lebih utama keadilan (al’adl) atau kedermawanan. Maka dijawab, keadilan, yakni meletakkan urusan pada tempatnya. Sedangkan, kedermawanan mengeluarkanya dari arahnya. Keadilan menjadi pengendali yang umum. Sedangkan, kedermawanan adalah hal baru yang khusus. Keadilan lebih mulia dan lebih utama.
Keadilan dalam Filsafat
Keadilan dalam dimensi non yuridis juga mencakup keadilan secara filosofis. Pada dasarnya, keadilan sebagai sebuah ide masuk dalam wilayah filsafat. Di area ini, keadilan didefinisikan pada tataran ontologis, dijabarkan dalam wujud operasional yang epistemologis, dan secara aksiologis ia diaplikasikan pada tataran praktis. Ketika keadilan masuk dalam tataran aksiologis, pada dasarnya ia sangat bersinggungan dengan aspek keadilan politik, lebih mendekat kepada aspek praktis. Ketika keadilan dibingkai dengan filsafat, hukum tidak akan kehilangan arah dan orientasi. Pertanyaan untuk apa hukum dibuat dan diciptakan, hanya dapat dijawab oleh filsafat.
Apa yang menjadi penyebab para praktisi hukum terjebak untuk memperdebatkan pasal-pasal mati tak bernyawa dan tanpa ruh serta spirit tentang poligami tanpa ijin pengadilan, misalnya dalam sebuah kasus, dan bahwa poligami yang demikian perlu atau bahkan harus dibatalkan karena tidak sejalan dengan Pasal 3, 4, dan 5 Undang-Undang Perkawinan - meski secara faktual dan yuridis tidak terdapat ketentuan syari'ah yang dilanggar, sementara dalam sebuah perkawinan in casu telah berlangsung 2 tahun dan perkawinan tersebut telah membuahkan kelahiran anak dan harta bersama.
Jawabnya adalah karena tidak ada pertimbangan filosofis atas penjatuhan vonis pembatalan. Sebuah putusan yang sesat, gersang, tidak memperhitungkan aspek kodrati manusia, bahkan tidak memperhitungkan hukum itu sendiri secara an sich. Artinya, ketika keadilan dimensi legal tidak tergapai, lebih-lebih keadilan filosofis. Ini adalah sebuah realitas bahwa ketika hukum tidak ditilik dari aspek filsafat maka penegakan keadilan akan terjebak dalam sekat-sekat sempit, lautan nilai, norma, dan peraturan perundang-undangan. Ketika keadilan masuk dalam ranah filsafat, ada pertanyaan besar akan diajukan: apakah keadilan itu, bagaimana keadilan itu ditegakkan, dan untuk apa hukum dibuat.
Ketika hukum diartikan sebagai syari'at dalam arti luas, maupun ketika hukum diartikan dalam pengertian syari'ah dengan arti lebih spesifik, maka tujuannya bukanlah maslahat sempit menurut kepentingan sesaat hamba, melainkan memelihara tujuan-tujuan syariat (maqāşid al-syarī'ah), yang meliputi: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dengan cara pandang inilah seharusnya maşālih al-'ibād itu dilihat.[3]
Dalam hal ini Al-Ghazaliy menyatakan:
أَمَّا الْمَصْلَحَةُ فَهِيَ عِبَارَةٌ فِي الْأَصْلِ عَنْ جَلْبِ مَنْفَعَةٍ أَوْ دَفْعِ مَضَرَّةٍ ، وَلَسْنَا نَعْنِي بِهِ ذَلِكَ ، فَإِنَّ جَلْبَ الْمَنْفَعَةِ وَدَفْعَ الْمَضَرَّةِ مَقَاصِدُ الْخَلْقِ وَصَلَاحُ الْخَلْقِ فِي تَحْصِيلِ مَقَاصِدِهِمْ ، لَكِنَّا نَعْنِي بِالْمَصْلَحَةِ الْمُحَافَظَةَ عَلَى مَقْصُودِ الشَّرْعِ وَمَقْصُودُ الشَّرْعِ مِنْ الْخَلْقِ خَمْسَةٌ : وَهُوَ أَنْ يَحْفَظَ عَلَيْهِمْ دِينَهُمْ وَنَفْسَهُمْ وَعَقْلَهُمْ وَنَسْلَهُمْ وَمَالَهُمْ ، فَكُلُّ مَا يَتَضَمَّنُ حِفْظَ هَذِهِ الْأُصُولِ الْخَمْسَةِ فَهُوَ مَصْلَحَةٌ ، وَكُلُّ مَا يُفَوِّتُ هَذِهِ الْأُصُولَ فَهُوَ مَفْسَدَةٌ وَدَفْعُهَا مَصْلَحَة
Artinya: Maslahah pada dasarnya adalah ungkapan tentang mendatangkan manfaat dan menolak kemudaratan. Tetapi bukan ini yang kami maksudkan. Karena mendatangkan manfaat dan menolak kemudaratan itu adalah tujuan yang diinginkan oleh makhluq, dan kebaikan yang dikehendaki makhluq dalam mencapai tujuannya. Yang kami maksud dengan maslahat di sini adalah memelihara apa yang menjadi tujuan syariah. Dan maksud syara’ terhadap makhluq ada lima: yaitu, memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Maka segala hal yang berisi pemeliharaan terhadap ushul yang lima ini maka disebut maslahat. Dan segala hal yang meniadakan ushul yang lima ini maka disebut mafsadat, dan menghindarkannya disebut maslahat pula.
Dalam filsafat hukum, Gustaf Radbruch mengintrodusir tujuan hukum pada cakupan keadilan (Justice), kemanfaatan (utility), dan kepastian hukum (legal certainty). Ketika pertimbangan sedalam-dalamnya diterapkan terhadap kasus seperti tersebut di atas, apa maslahat, maqashid dan keadilannya atas pembatalannya. Apakah prestasi yang hendak dipredikatkan kepadanya, aspek prestasinya dalam melaksanakan sunah Rasulullah, keturunan yang dilahirkan, harta bersama yang diperoleh selama 2 tahun perkawinannya. Semata-mata sekadar untuk mengakomodir ketentuan Pasal 3, 4, dan 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, meski Pasal itu memberikan opsi untuk tidak membatalkan-nya.
Dalam kerangka berfikir al-Quran, setiap upaya kebaikan manusia harus dihargai sebagai sebuah prestasi kebaikan pula. Dalam QS al-Nisa (4:) 32:
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ
Terjemahnya:
(Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan.[4]
Karena itu, setiap upaya kebaikan manusia harus dipredikatkan kepadanya sebagai sebuah prestasi kebaikan sebesar atau sekecil apa pun prestasi itu. Dalam QS al-Zalzalah (99:) 7-8:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
Terjemahnya:
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.[5]
Seorang pencari keadilan yang telah melaksanakan sunah Rasulullah, hidup dalam ikatan pernikahan yang legal, dikaruniai anak, dan atas jerih usahanya ia mengahsilkan harta bersama dalam perkawinan in casu, maka keadilan yang selayaknya diterima adalah bahwa semua prestasi itu kembali menjadi predikatnya.
Mempredikatkan prestasi kepada subjek prestasi itulah keadilan yang dicitakan Al-Farabi dalam Kota Utama (al-Madīnah al-Fādlilah), dan mengapa Kota Utama harus dipimpin oleh pribadi yang berkarakter kenabian, Imam yang paripurna dalam personalitas, yang menurut Ibnu Rusyd adalah filosof.
Keadilan dalam Perspektif Politik
Secara politis, keadilan politik mempunyai spektrum yang paling luas cakupannya. Dalam perspektif politik maka syarat utama keadilan yang harus dipenuhi adalah subjeknya. Aturan hukum apa pun secara formil maupun materiil, jika subjeknya tidak memiliki kompetensi yang memadai, maka tidak akan tercipta keadilan.
Beranjak dari ide ini, jawaban yang layak diberikan secara politis adalah jawaban sebagaimana apa yang dikemukakan oleh mazhab Imamiyah tentang syarat imamah dalam keyakinannya. Dalam keyakinan Imamiyah seorang pemegang panji penegak keadilan haruslah mempunyai karakter maksum. Dalam pengertian bahwa ia memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri sendiri, memiliki kapasitas ilmu yang sangat mendalam, sehingga tidak terjerumus dalam perilaku yang mengarah kepada kezaliman.
Sebenarnya, ide kemaksuman adalah ide universal. Sebuah jalan keluar yang tetap akan relevan dalam semua waktu, tempat dan situasi. Maksum sebagai sebuah karakter yang terinternalisasi, ia bukanlah cap dan merek dari Tuhan. Maksum adalah kualitas pribadi yang muncul karena kemampuan diri yang terus dipupuk sehingga menjadi sebuah kepribadian yang matang.
Karakter maksum tumbuh karena kapabilitas keilmuan yang mendalam dan mumpuni sehingga ia mampu memecahkan berbagai problema yang dihadapkan kepadanya. Ia memiliki profesionalisme dalam melaksanakan tugasnya sebagai penegak keadilan dan pengayom hukum bagi para pencari keadilan. Ukuran yang digunakan oleh Al-Farabi bagi seseorang yang memiliki karakter yang demikian adalah bahwa ia adalah seorang filosof.
Maksum dalam bahasa kekinian adalah integritas moral yang unggul yang tidak tunduk pada kecenderungan pribadi. Pemilik integritas yang demikian tidak larut pada tekanan internal, tidak terpesona pada pujian pihak yang menang dan tidak pula menyerah pada intimidasi eksternal maupun pihak yang kalah. Karena itu ia perlu mempunyai watak pemberani, namun di saat yang bersamaan ia harus berlaku lembut dan penyayang.
Adalah sebuah kekeliruan, adanya anggapan bahwa kemaksuman identik dengan determinisme. Kemaksuman sesungguhnya adalah sebuah kata benda yang bermakna aktif. Ia adalah kekuatan yang muncul karena kualitas iman dan ilmu yang terasah dan teruji. Nabi adalah maksum karena ia adalah perbendaharaan dan khazanah ilmu, dan karena Nabi adalah personifikasi al-Quran. Demikian pula Ali bin Abi Thalib dipandang maksum oleh Imamiyah karena ia adalah pintu kota ilmu Nabi, dan ia adalah padanan al-Quran (fa innahumā lan yaftariqā hattā yaridā 'alayya al-Haudla). Sebagaimana dalam sebuah bait syair dalam Maulid Diba’: wa lighairillahi ma qashadu wa ma’al qur’ani fi qarani.
Dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disyaratkan bahwa hakim harus memenuhi syarat: bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.[6]
Kalau digunakan syarat kemaksuman maka syarat pada pasal tersebut tampak tidak terlalu signifikan untuk naik menyandang pangkat qadhi. Taqwa adalah perilaku rakyat kebanyakan, syarat yang harus ada pada setiap Pegawai Negeri Sipil di Indonesia, baik hakim atau bukan hakim. Sedang jabatan hakim adalah jabatan elit yang harus memenuhi kualifikasi lebih dari sekedar rakyat kebanyakan. Ia kepanjangan tangan Nabi dan Rasul, bahkan kepanjangan tangan kekuasaan Tuhan dalam memutus perselisihan dan memangkas kelaliman tangan hamba-Nya. Ia adalah algojo Tuhan dalam membalas kedurjanaan dan kezaliman para kriminal. Karena itu, ia harus maksum.
Di tengah krisis kepercayaan terhadap aparat penegak keadilan, catatan kelam para penegak keadilan semakin dirasa penting untuk ditelaah kembali. Apa sebenarnya yang salah dari keadilan politik Indonesia. Tampaknya, harus dianggap sebagai sebuah kebenaran bahwa syarat untuk menjadi hakim perlu ditata kembali sehingga dapat mengembalikan citra dan wibawa hukum. Prasyarat itu belum cukup sekedar: warga negara Indonesia, beragama Islam, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sarjana syari'ah dan/atau sarjana hukum yang mengusai hukum Islam, sehat jasmani dan rohani, berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela, bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, dan dalam waktu yang sama ia adalah pegawai negeri sipil yang berasal dari calon hakim, dan berumur paling rendah 25 tahun.[7]
Prasyarat untuk menjadi pemegang amanah imamah, karena itu, perlu menjadi bagian dari revitalisasi syarat menjadi hakim di seluruh lingkungan peradilan di Indonesia, khususnya di lingkungan Peradilan Agama, yaitu: maksum, pengetahuan yang mendalam, keberanian, zuhud, dan ketinggian standar akhlak dan moral.
Keadilan dalam Perspektif Teologi
Kemudian, secara teologis, penegakan keadilan sangat berkorelasi dengan budaya hukum. Pendapat ini diintrodusir oleh Lawrence M. Friedman dan dikembangkan oleh Soerjono Soekanto.[8] Apa hubungan korelatif antara teologi dengan budaya hukum. Mari kita lihat pendapat para ahli tentang budaya termasuk budaya hukum.
Dalam kajian mengenai budaya, Talcott Parsons dan A.L. Kroeber menggagas wujud budaya sebagai sesuatu sistem dari ide-ide dan konsep-konsep dari wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas yang berpola.[9] Kemudian, J.J. Honnigman dalam bukunya yang berjudul The World of Man, membedakan adanya tiga gejala kebudayaan: ideas, activities, dan artifacts. Dari kedua pendapat ini, Koentjoroningrat berpendirian bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud: 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dan masyarakat; 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.[10]
Dari wujud kebudayaan dapat dilihat bahwa ide diletakkan mendahului aktivitas, karena aktivitas bisa terwujud jika dimotivasi oleh ide. Dalam aspek budaya masyarakat Islam, ide-ide banyak didominasi oleh aspek-aspek teologis sebagai basis ideologi dalam kehidupan kaum Muslimin.
Pada masa lalu, mereka yang percaya pada ideologi fatalis adalah para tiran yang memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan sesaat pribadi atau klan tertentu, dan rakyat menjadi tidak percaya pada wujud keadilan bahwa keadilan dapat ditegakkan. Bagi rakyat fatalis, keadilan tidak punya makna karena apa yang terjadi sebagai status quo itulah yang adil, karena keadilan itu adalah yang menjadi kehendak-Nya, termasuk perilaku para penguasa yang kriminal.
Dalam suasana teologi fatalis, keadilan menjadi barang yang mustahil untuk ditegakkan. Persoalan yang erat dengan penegakan hukum dan keadilan justeru menjadi sangat melecehkan fungsi hukum dan penegakan keadilan. Marilah kita simak kembali ucapan Ahmad bin Hanbal dalam menggaris bawahi makna takdir: "Perzinaan, pencurian, minuman khamar, membunuh jiwa, memakan harta haram, menyekutukan Allah, berbuat dosa dan bermaksiat, kesemuanya berdasarkan qadha dan qadar Allah."
Budaya hukum yang kondusif bagi penegakan keadilan adalah budaya yang lahir dari teologi yang menghargai keadilan Ilahi, bahwa Allah Maha Adil, dan hamba-Nya mampu menegakkan keadilan di muka bumi. Manusia diberi kekuatan oleh Allah untuk memilih jalan adil dari jalan zalim. Allah berfirman dalam QS al-Syams (91): 7-10:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
Terjemahnya:
Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.[11]
Hanya budaya hukum yang percaya akan kemungkinan supremasi hukum yang akan mampu merealisasikan penegakan keadilan hukum dan keadilan ilahiah di muka bumi. Budaya hukum demikian akan lahir dari keyakinan moderat, keyakinan jalan tengah, yang tidak absolut pada kebebasan manusia, dan tidak mutlak pada kehendak ilahiah. Ia adalah al-amru bayna al-amrayni.
Keadilan dalam Perspektif Hukum
Dalam sebuah kasus, di mana sebuah poligami terjadi tanpa ijin dari Pengadilan yang kemudian dijatuhi putusan pembatalan oleh Pengadilan tingkat banding meski secara faktual dan yuridis tidak terdapat ketentuan syari'ah yang dilanggar, sementara dalam sebuah perkawinan in casu telah berlangsung 2 tahun dan perkawinan tersebut telah membuahkan kelahiran anak dan harta bersama. Tampak bahwa baik hakim yang setuju terhadap penjatuhan putusan pembatalan maupun yang kontra pembatalan, semata-mata mempertimbangkan aspek-aspek normatif dari hukum positif Indonesia.
Pertimbangan hakim yang membatalkan poligami tersebut hanya melibatkan Pasal-pasal 3, 4, 5, dan 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, dan Pasal 56, 57, 58, dan 71 Kompilasi Hukum Islam. Sementara, hakim banding yang melakukan dissenting opinion hanya mempertimbangkan Pasal-pasal 2, 3, 4, 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal-pasal 6, 10, dan 11 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, serta 56 dan 71 Kompilasi Hukum Islam.
Hakim banding in casu sama sekali tidak mempertimbangkan aspek-aspek hukum lain dalam menjatuhkan vonisnya. Padahal Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengamanatkan: "Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat."[12]
Nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat yang menjadi pesan Pasal tersebut dalam konteks lingkungan Peradilan Agama adalah wilayah yang menjadi domein Hukum Islam, yang meliputi antara lain, kaidah-kaidah syari'ah, definisi pernikahan menurut para fuqaha, syarat-syarat nikah menurut berbagai mazhab Islam, bentuk-bentuk pernikahan, dan sebagainya. Walhasil, memperhatikan seluruh aspek khzanah warisan hukum Islam dalam berbagai ragam corak ijtihadiah dan aliran pemikiran fiqih yang ada, beserta ragam aliran pemikiran politik, etika, filsafat, dan teologinya. Sehingga benar-benar mencerminkan pertimbangan keadilan yang paripurna.
Walhasil, tidak ada arogansi pemikiran mazhab tertentu yang dipaksakan, aliran teologi dan politik tertentu yang mesti mendominasi, tirani mayoritas, atau bentuk dominasi-dominasi lain, dan benar-benar mengayomi rasa keadilan para pencari keadilan seluruh warga masyarakat.
Keadilan dalam Perspektif Etis
Keadilan jenis ini di pahami sebagai keadilan yang sesuai dengan kebajikan-kebajikan tertinggi yang menentukan suatu standar tingkah laku manusia. Dalam standar keadilan legal (hukum) manusia dituntut untuk memenuhi standar minimum dengan kewajiban-kewajiban. Akan tetapi, dalam keadilan etis manusia dituntut untuk memenuhi standar yang terbaik, setinggi mungkin. Relevan dengan keadilan etis, Aristoteles mendefinisikan keadilan dengan: “Kebajikan-kebajikan tertinggi dan di dalamnya setiap kebajikan dimengerti.[13] Kebajikan tertinggi ini menurut para ulama, tidak hanya berasal dari sumber etika Islam, tetapi juga non-Islam. Karena itu sama seperti ketika membahas keadilan Filosofis, keadilan etis dikaji pada dua tataran keadilan: Ilahiah dan manusia.
Secara etika, keadilan etis muncul ketika standar minimum kebajikan telah terlampaui. Ketika standar kebajikan baru pada pelaksanaan kewajiban, maka keadilan etis belum dapat diharapkan akan terwujud, karena standar yang menjadi parameter adalah kebajikan tertinggi.
Keadilan etis pada dasarnya melatih kepekaan manusia agar standar keadilannya senantiasa tepat pada neraca yang benar, valid dan akurat. Bandul pendulum keadilannya senantiasa mengarah kepada arah yang seharusnya. Ketika standar yang digunakan adalah skala maksimum dalam perilaku keseharian, maka seseorang akan sangat berhati-hati dalam meletakkan pendulum neraca keadilannya. Namun, ketika seseorang terbiasa dengan perilaku syubhat, peluang untuk jatuh ke lembah haram jauh lebih besar.
Layak untuk ditegaskan kembali standar keadilan etisnya al-Razi, yaitu: kesederhanaan (menahan hasrat), kasih sayang (rahmat), kebajikan universal, dan gairah untuk memberikan manfaat bagi semua umat manusia. Demikian pula standar etis al-Ghazali yang mencakup: kebijaksanaan (hikmah), dalam pengertian mengekang diri dari perbuatan ekstrem karena tekanan emosi yang berlebihan; keberanian, yang merupakan jalan tengah antara pengecut dan gegabah serta tekad tanpa perhitungan (ceroboh); kesederhanaan; dan keadilan. Yang kemudian – dapatlah dipandang – sebagai gabungan dari kualitas-kualitas itu adalah keadilan yang dimaknai oleh Nashirudin al-Thusi dengan al-Musāwāh (equivalent, kesetaraan), gagasan yang menyetujui proporsi, kesepadanan, kesetaraan, dan pada akhirnya adalah mencapai al-wahdah, yaitu makin dekatnya manusia kepada Yang Esa, makin sempurna eksistensinya sebagai manusia, dan semakin paripurna dalam fungsinya sebagai penegak keadilan.
Dari premis ini dapat dipahami bahwa keadilan etis mempunyai korelasi dengan keadilan politis dan keadilan filosofis, yaitu bahwa keadilan politis dan filosofis bergantung kepada keadilan etis. Keadilan filosofis tercapai karena telah terlampaui keadilan etis, demikian pula kualitas kemaksuman dalam keadilan politis dapat terlampaui setelah fase keadilan etis berhasil dimenangkannya. Karena itu wajarlah apabila Aristoteles mendefinisikannya dengan: kebajikan tertinggi yang di dalamnya setiap kebajikan dimengerti.
Keadilan dalam Perspektif Sosiologis
Keadilan sosial difahami sebagai keadilan yang sejalan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat positif. Ia produk dari pengalaman manusia dalam hidup bermasyarakat. Sebagaimana dilukiskan oleh Holmes, seorang Hakim Agung Amerika, kehidupan suatu hukum bukanlah kehidupan logika; ia merupaka pengalaman.[14] Ia bukan keadilan Ilahi dan bukan pula keadilan rasional, karena itu keadilan soisal bukanlah tipe keadilan yang diidamkan oleh seorang idealis tetapi apa yang secara riil diterima sebagai sebuah praktek dalam pengalaman kehidupan sosial.
Pada akhirnya, kita melihat keadilan dari dimensi secara sosiologis, dari dua teori tentang keadilan sosial. Al-Thurthusi hanya membaginya menjadi dua jenis keadilan, pada dua kutub ekstrem yang sangat berseberangan, yaitu: level profetik, keadilannya bersandar pada hukum Ilahiah; dan level khalifah atau para raja yang keadilannya bersandar pada adat istiadat dan instruksi raja, yang disebut pula dengan keadilan positif. Sementara, Ibnu Khaldun menambahkan satu teori, sebagai teori transformasi, yaitu teori campuran antara revelasional atau profetik dan sekuler.
Melihat relitas tatanan hukum di Indonesia, pada level praktis, harus diakui bahwa hingga kini ketergantungan pada aspek hukum di luar hukum Islam masih sangat besar, terjadi tidak hanya pada aspek formil, tetapi juga materiil. Bahkan KHI, yang sudah dianggap sebagai kebenaran akan wujudnya selaku hasil ijmak para ahli hukum Islam Indonesia, menjadikan alasan: suami yang dipidana penjara dengan pidana penjara selama lima tahun, sebagai alasan perceraian.[15] Sebuah alasan yang nyata-nyata mencontek ketentuan Burgerlijke Wetboek (BW), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku di zaman kolonial Belanda, yang kini sudah dinyatakan tidak berlaku lagi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia.
Harus diakui pula, bahwa hukum formil yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama, peradilan yang dikhususkan untuk para pemeluk Islam di Indonesia, adalah warisan dari zaman kolonial, antara lain yaitu: HIR, R.Bg. dan RV. Hal ini harus diakui sebagai realitas masa transformasi yang perlu dipikirkan dan diberikan solusinya ke depan sehubungan dengan keadilan dengan dimensi sosiologisnya dengan membuat legislasi baru dalam bidang hukum formil.
Demikian, semoga bermanfaat.
Samarinda, 15 Agustus 2023
[1] Departemen Agama RI, Himpunan, op cit, h. 475.
[2] Al-Syarif al-Radhiy, Nahj al-Balāghah Syarh Muhammad Abduh juz 4 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), h. 102.
[3] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazaliy, al-Mustaşfā īi ilm al-Uşūl (Beirut, Lubnan: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt.), h. 174.
[4] Departemen Agama RI, Al-Quran, op cit, h. 122.
[5] Ibid, h. 1087.
[6] Lihat kemabali syarat untuk menjadi hakim pada Bab II.
[7] Ibid.
[8] Lihat kembali Pendahuluan h. 14-15.
[9] Talcott Parsons; A.L. Kroeber, "The Concept of Culture and of Social System", American Sociological Review, XXIII-5, 1958, sebagaimana dikutip oleh Koentjoroningrat dalam Pengantar Ilmu Antropologi (Cet. VII; Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2000), h. 186-187.
[10] J.J. Honnigman, The World of Man (1959: 9-12), sebagaimana dalam Koentjoroningrat, Ibid.
[11] Departemen Agama RI, Al-Qurān, op cit, h. 1064.
[12] Departemen Agama RI, Himpunan, op cit, h. 475.
[13] Aristoteles Nichomachean Ethics (1129 b 13).
[14] Oliver Wendell Holmes dalam catatan kaki Majid Khadduri, Ibid, h.257.
[15] Pasal 209 (3e) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) diterjemahkan oleh Soesilo dan Pramudji R. (Jakarta: Wacana Intelektual, 2007), h. 45.