-
(TRILOGI KETIGA)
MENYOAL SAKRALISASI TAKRIF NIKAH
(Analisis Pandangan Fuqaha dan UU Perkawinan)
Oleh: Dr. Drs. H. Moh. Faishol Hasanuddin, S.H., M.H.
Hakim Tinggi pada PTA Samarinda
-
Pengantar
Hukum materiil yang berlaku sebagai hukum positif dalam bidang perkawinan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dan tentu saja juga Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Dan mengawali analisis tentang hukum materiil perkawinan (nikah), tidak terlepas dari definisi atau takrif tentang nikah. Hal ini perlu karena takrif tentang nikah erat kaitannya dengan hukum materiil tentang itsbat dan pembatalannya menurut hukum Islam dan hukum positif.
Cara pandang para fuqaha mengenai takrif nikah ini terbukti berbeda dengan bagaimana hukum positif mendefinisikannya.
Takrif Nikah dalam Pandangan Fuqaha
Kata nikah berasal dari bahasa Arab al-nikāh, yang kini telah menjadi kosa kata bahasa Indonesia yang sepadan artinya dengan perkawinan. Para fuqaha kerap kali menggunakan kata al–zawāj sebagai sinonim dari kata nikah dalam kitab-kitab mereka.
Sebagian fuqaha memaknai nikah secara istilah dengan:
عقد يفيد حل استمتاع كل من العاقدين بالأخر على وجه المشروع [1]
(Transaksi yang menghasilkan kehalalan bersenang-senang dari masing-masing pihak yang bertransaksi dengan cara-cara yang dibenarkan oleh syara’).
Penulis Kitab Al-Kanz memaknainya dengan:
عقد يراد على ملك المتعة قصدا[2]
(Transaksi yang dimaksudkan untuk secara sengaja memberikan hak untuk memiliki kesenangan.)
Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan nikah dengan:
عقد يفيد حل العشرة بين الرجل والمرأٍة وتعاونهما ويحد ما لكليهما من حقوق وما عليه من واجبات[3]
(Transaksi yang menghasilkan kehalalan bergaul antara laki-laki dan perempuan, dan memberikan batasan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak).
Dari definisi itu tampak bahwa motivasi terbesar dari nikah adalah meraih kesenangan dari adanya hubungan dua lawan jenis secara halal. Makna yang mengacu kepada pengertian bagian dari fitrah manusia yang diberi nafsu syahwati.
Allah berfirman dalam QS Ali Imran (3): 14:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Terjemahnya:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup didunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).[4]
Dan mahar sebagai tanda mata perkawinan juga dinilai sangat material, sehingga sebutannya adalah: Ujūr (upah). Setidaknya, illat itulah yang tampak dari ayat al-Quran yang membicarakan tentang pernikahan. Motif-motif istimtā’, sakīnah, mawaddah dan rahmah itulah yang sangat menonjol tereksplorasi di dalamnya.[5] Walhasil, tidak jauh dari makna akar dan asal nikah, yaitu al-wath’u (jimak).
Takrif Nikah dalam UU Perkawinan
Dalam hukum positif Indonesia, definisi nikah telah mengalami sakralisasi dengan masuknya kata "lahir batin" di dalamnya. Menurut Undang-Undang Perkawinan, perkawinan sebagai padanan kata pernikahan adalah: "Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."[6]
Jika mengacu kepada definisi undang-undang tersebut, maka akad (ikatan) tanpa unsur "lahir batin” maka akan berdampak kepada tidak sah. Tentu ini juga bisa menimbulkan perdebatan. Meskipun kesimpulan demikian terlampau terburu-buru karena untuk menilai sah atau tidaknya akad dalam hukum positif masih harus mempertimbangkan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan, yang menyatakan: "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu."[7]
Klausul yang menyebut rujukan hukum agama, dan ketika hubungan hukum itu dilakukan oleh seorang Muslim maka yang berlaku tentu adalah hukum Islam, tidak hanya mengenai definisi nikah, tetapi juga mengenai syarat-syarat perkawinan (Pasal 6 ayat(6)), larangan perkawinan (Pasal 8 huruf f), dan perkawinan yang dapat dibatalkan (penjelasan Pasal 22 Undang-Undang Perkawinan).
Dalam fiqih Islam tidak ada sakralisasi demikian. Ini artinya, tanpa adanya syarat "lahir batin" dalam akad maka akad itu sendiri sudah sah dan mengikat kedua belah pihak.
Implikasi Takrif Nikah
Mengembalikan makna nikah pada akarnya, yaitu dalam hal ini adalah hukum Islam, tak lain untuk mengembalikan cara penalaran hukum yang tepat sehingga memperoleh kesimpulan yang tepat pula dalam mengadili perkara yang berhubungan dengan sengketa bidang perkawinan.
Implikasi itu antara lain adalah pembatalan perkawinan yang dalam khazanah fiqih Islam disebut fasakh. Mem-fasakh akad nikah berarti membatalkannya dan melepaskan ikatan pertalian antara suami isteri. Menurut Sayyid Sabiq, fasakh bisa terjadi karena pertama: syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada akad nikah, atau kedua: karena hal-hal lain yang datang menyusul kemudian yang membatalkan eksistensi perkawinan itu.[8]
Contoh fasakh karena alasan yang pertama adalah: Setelah akad nikah terbukti istrinya adalah saudara sesusuan. Contoh fasakh karena alasan yang kedua adalah: Bila salah seorang suami istri murtad dan tidak bersedia kembali kepada Islam, maka akadnya fasakh (batal) disebabkan kemurtadan yang terjadi menyusul kemudian.
Terhadap penyebab fasakh yang jelas (sharih), seperti ternyata istri yang dinikahi adalah saudara sepersusuan, maka suami istri itu wajib mem-fasakh pernikahannya atas kemauan suami istri itu sendiri, tanpa perlu campur tangan pengadilan. Artinya, dengan sendirinya setelah diketahuinya status sepersusuan, maka suami istri itu harus memisahkan dirinya. Tetapi jika penyebab fasakh itu masih samar-samar, maka perlu putusan pengadilan yang mem-fasakh pernikahan mereka.[9]
Fuqaha Mazhab Hanafi membuat rumusan untuk membedakan antara talak dan fasakh dengan definisi: Pisahnya suami istri karena inisiatif dan dilakukan oleh suami, dan sama sekali tidak ada pengaruh dari istri disebut talak. Dan jika perpisahan itu atas inisiatif dan dilkakukan oleh istri, atau dilakukan suami atas pengaruh dari istri disebut fasakh.[10]
Perbedaan akibat hukum dari perpisahan suami istri karena talak dan fasakh adalah pertama dari segi berlakunya: Perpisahan karena fasakh karena alasan manapun dari keduanya di atas, maka berlaku seketika. Perpisahan karena talak terbagi dua, talak bain dan talak raj'i. Jika talak bain maka perpisahan berlaku seketika, sedang perpisahan karena talak raj'i tidak mengakhiri perkawinan dengan seketika, perkawinan nanti berakhir setelah berakhirnya masa iddah.
Kedua, dari segi efeknya yang dapat mengurangi bilangan talak. Dari segi ini, talak raj'i dapat mengurang bilangan talak, sedang fasakh tidak mrengurangi bilangan talak dalam hal fasakh karena khiyar baligh dari perkawinan anak-anak yang masih kecil yang dilakukan oleh wali selain ayah atau kakeknya. [11]
Dalam sistem hukum positif yang berlaku di Indonesia, ada perbedaan klasifikasi yang membedakannya dari sistem klasifikasi fiqih Islam dan juga campur tangan pengadilan terhadap aspek-aspek itu.
Ada alasan-alasan fasakh dalam kriteria fiqih ketika di Indonesia menjadi alasan perceraian. Sekali lagi, ketika fasakh dimaknai dengan pembatalan, sebagai contoh adalah murtad. Pasal 116 huruf h KHI menyatakan: "peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga."[12] Di samping, murtad sebagai alasan perceraian, bukan pembatalan, ada klausul bahwa murtad sepanjang yang berakibat pada ketidakrukunan dalam rumah tangga dapat menjadi alasan perceraian. Sedangkan jika murtad tetapi suami istr itu masih tetap rukun, maka bukan menjadi alasan perceraian.
Kemudian, berbeda dengan pendapat Sayyid Sabiq yang menyatakan bahwa fasakh dengan alasan yang samar baru mengundang campur tangan peradilan dalam penyelesaiannya. Sedangkan di Indonesia, jelas atau tidak jelas alasan fasakh, semuanya menjadi kewenangan pengadilan dalam penyelesaiannya. Bahkan terhadap perkawinan yang terjadi antara sesama saudara kandung sekali pun, deklarasi fasakh-nya harus melalui campur tangan pengadilan.
Selanjutnya, jika kembali kepada takrif nikah sebagaimana Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, dengan unsur “lahir batin” dalam ikatan itu, maka konsekwensi apa yang terjadi ketika unsur itu tidak terwujud dalam perkawinan. Akankah jatuh kepada fasakh, atau yang lain.
Demikian. Semoga bermanfaat.
Samarinda, 27 Oktober 2023
[1] Lihat Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwāl al-Syakhşiyyah, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1957), h. 18.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid. h. 77.
[5] Bandingkan dengan QS al-Nisa (4:) 24, dan QS (30:) 21..
[6] Departemen Agama, Himpunan, op cit, h. 100, lihat dalam Pasal 1 Undang-Undang tersebut.
[7] Ibid.
[8] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, diterjemahkan oleh Moh. Thalib dengan Judul Fikih Sunnah , jili VIII (cet. VII; Bandung: PT Al-Ma'arif, 1990), h. 124.
[9] Ibid, h. 125-126.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Departemen Agama RI, Himpunan, op cit, h. 336.